TUGAS 7 PSDA
PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN
A.
Pendahuluan
Indonesia
merupakan negara beriklim tropika humida (humid tropic) yang pada musim
hujan mempunyai curah hujan tinggi. Akibatnya di beberapa tempat terjadi banjir
yang banyak menimbulkan kerugian baik nyawa maupun harta benda. Kerugian ini
akan semakin besar kalau terjadi di kota-kota besar yang padat penduduknya.
Untuk mengurangi kerugian tersebut telah banyak usaha penanggulangan banjir yang
dilakukan seperti pembuatan tanggul banjir, tampungan banjir sementara,
pompanisasai air banjir, sudetan sungai, dll.
Usaha
pengendalian banjir tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan,
karena kejadian banjir terus meningkat dari waktu ke waktu.
Fenomena ini sudah kita sadari, karena proses kejadian banjir memang sangat
komplek, baik itu proses di lahan maupun di jaringan sungainya. Oleh
karena itu penanggulangan banjir tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan
DAS, dan sumberdaya air secara keseluruhan.
Di
sisi lain banjir merupakan salah satu sumberdaya alam yang cukup besar
potensinya. Apabila air banjir pada musim hujan dapat ditampung dan disimpan,
sehingga dapat menurunkan debit banjir, maka pada saat kekeringan dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia dan keperluan lain seperti irigasi,
pembangkit tenaga listrik, perikanan dan pariwisata. Dengan demikian, usaha
pengendalian banjir yang dilakukan sekaligus dapat mengurangi kerugian akibat
kekeringan.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa peristiwa banjir dan kekeringan sangat merugikan
kehidupan manusia. Penanggulangan kedua bencana tersebut terus diupayakan
dengan berbagai cara, namun nampaknya masih dilakukan secara terpisah.
Pengendalian banjir dan pananganan kekeringan secara terpadu nampaknya akan
memberikan hasil lebih baik.
B.
PEMBAHASAN
1.
Banjir
Banjir
adalah peristiwa keberadaan air mengalir melampaui kapasitas perangkat
pengaliran yang disediakan/tersedia dan mengalir di luar kemampuan perangkat
itu. Dalam konteks ini air menimbulkan gangguan akibat pengalirannya atau
genangannya pada tempat-tempat yang tidak disediakan untuknya. Di Indonesia ada
beberapa factor penting penyebab terjadinya banjir :
a.
Faktor Hujan
Intensitas
hujan sangat berpengaruh pada besarnya debit puncak banjir. Semakin tinggi
intensitas hujan maka semakin tinggi pula debit banjirnya. Hal ini dapat
difahami, terutama jika telah banyak melakukan analisis banjir dengan
model-model yang tersedia. Perlu mendapat perhatian pada penggunaan rumus Rasional,
yaitu pada kondisi durasi hujan yang lebih pendek dari waktu konsentrasinya.
Pada kondisi tersebut nilai debit puncak ditentukan oleh sebagian luas DAS,
karena hujan diseluruh DAS belum teratus.
Kejadian
hujan dalam beberapa hari berturut-turut, justru dapat menimbulkan banjir,
walaupun intensitas hujannya tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan oleh
kondisi tanah yang telah dibasahi hujan sebelumnya menurunkan kemampuan
menginfiltrasi air. Pada kondisi tanah dengan kelengasan tinggi atau jenuh air,
infiltrasi memang masih berjalan, namun nilainya cukup kecil, sehingga hampir
seluruh hujan menjadi aliran dan dapat menimbulkan banjir.
Hujan
deras yang terjadi pada suatu hari dimana hari-hari sebelumnya tidak hujan
sering tidak menimbulkan bnajir. Pengaruh kelengasan tanah awal pada debit
banjir sudah difahami, namun belum dirumuskan dengan baik. Oleh karena itu
menarik untuk dikaji pengaruh kelengasan tanah awal pada kejadian banjir.
b.
Faktor DAS
Daerah
Aliran Sungai adalah daerah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai
yang bersangkutan. Perubahan fisik yng terjadi di DAS akan berpengaruh langsung
terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Semakin banyak lahan terbuka,
atau terbangun semakin kecil kemampuan retensinya.
Kejadian
banjir di Sorong tanggal 18 Juli 2003 (www.kompas.com.) adalah akibat
penggundulan hutan di sekitarnya. Kerugian banjir diperkirakan sebesar 2,8
milyar rupiah. Bandung selatan mengalami banjir pada 27 Mei 2004
(w.w.antara.co.id.), sehingga jalur jalan Majalaya – Bandung terputus. Genangan
air mencapai 50 cm – 80 cm. Banjir ini diestimasikan akibat pemotongan
bukit-bukit di sekitar Bandung selatan untuk permukiman dan kawasan industri.
Berubahnya
kawasan retensi banjir untuk Jakarta menjadi permukiman, daerah terbuka (jika
ada tanaman, hanya perdu), industri dll., mengakibatkan banjir yang terjadi
meningkat. Pada th 2003, kejadian banjir diperparah dengan adanya peningkatan
elevasi muka air laut. Hal tersebut diperparah dengan pola penyebaran
permukiman yang menyebar, sehingga daya rusak terhadap ekologis dan
lingkungannya lebih tinggi.
c.
Faktor Alur Sungai
Upaya
pengendalian banjir yang selama ini dilakukan berupa kegiatan fisik/struktur
yang berada di sungai (in stream) dengan tujuan untuk melindungi dataran
banjir yang telah berkembang. Pengendalian banjir tersebut dengan membangun
prasarana dan sarana seperti pembuatan tanggul, normalisasi alur sungai,
sudetan, saluran drinasi, tampungan air (waduk), polder, dll.
Pada
umumnya, prasarana dan sarana pengendali banjir direncanakan untuk 10 sampai
100 th, sedang sistem drainasi 2 sampai 10 tahun. Data yang digunakan dapat
berupa data hujan maupun aliran yang terekam pada kondisi DAS saat itu. Apabila
kondisi DAS di Indonesia dapat digolongkan stabil, prediksi debit dengan kala ulang
tersebut tentu saja tidak akan menjadi masalah. Namun kenyataannya, Daerah
Aliran Sungai yang ada memiliki tataguna lahan yang tidak stabil, bahkan
cenderung mengalami kerusakan. Tingkat kerusakan DAS bervariasi mulai dari
kecil, sedang sampai besar/kritis yaitu pada tingkat yang sudah
mengkhawatirkan.
Oleh
karena itu, prediksi nilai debit dengan kala ulang tertentu yang diperoleh pada
saat perencanaan sudah tidak relevan lagi pada saat ini. Hal ini terjadi jika
Daerah Aliran Sungainya mempunyai luas area terbuka yang meningkat. Peningkatan
debit banjir mengakibatkan prasarana dan sarana yang ada tidak mampu menampung
aliran yang terjadi.
Aspek
pendangkalan yang terjadi di alur sungai juga merupakan salah satu sebab
terjadinya banjir. Adanya pendangkalan alur sungai, tampang sungai menjadi
berkurang sehingga daya tampung alirannya menurun pula. Proses pendangkalan ini
dapat terjadi akibat erosi tebing dan dasar sungai maupun akibat erosi lahan di
Daerah Aliran Sungai.
Persoalan
banjir menjadi semakin rumit jika di alur sungai terdapat rintangan-rintangan
arus baik oleh alam maupun buatan manusia seperti :
1. Penampang
pengaliran sempit karena formasi geologi yang keras
2. Adanya
ambang alam yang keras
3. Belokan
tajam pada sungai akan menimbulkan arus menyilang yang berbahaya
4. Bangunan
silang sengan sungai dengan rongga terlalu sempit
5. Pertemuan
antara dua sungai atau lebih dengan arus saling merintangi
Faktor-faktor
di atas perlu mendapatkan perhatian cukup serius dalam penanganan masalah
banjir, sehingga dapat memberikan hasil yang baik.
2.
Kekeringan
Kekeringan
merupakan salah satu bentuk kondisi ekstrim dan kejadian alam yang kejadiannya
tidak dapat dihindari serta karakteristiknya masih menyimpan ruang yang luas untuk
dipelajari dan dikaji lebih mendalam. Kekeringan seringkali ditanggapi dengan
pemahaman yang berbeda-beda.
Batasan
atau kriteria kekeringan sampai sekarang belum disepakati secara luas. Hal ini
menunjukkan bahwa kekeringan merupakan kejadian yang spesifik pada suatu
wilayah. Namun demikian, ada beberapa tipe kekeringan yang akan ditunjukkan
untuk dapat digunakan sebagai acuan.
a.
Kekeringan Meteorologis
Tipe
kekeringan ini paling mudah untuk diidentifikasi dan difahami. Suatu wilayah
dapat dikatakan mengalami kekeringan meteorologis apabila hujan tahunan rerata
yang terjadi tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk evapotranspirasinya atau
dapat juga dibandingkan dengan temperaturnya. Tidak ada batasan mengenai berapa
lama hari/bulan tanpa hujan atau berapa banyak kekurangan air.
Kekeringan
meteorologis didasarkan pada kriteria kuantitatif berupa indeks kekeringan.
Selanjutnya indeks kekeringan dapat digunakan sebagai indikator dalam
menetapkan klasifikasi tingkat kekeringan suatu wilayah.
Indeks
Kekeringan Menurut De Martonne
dengan
:
P
= curah hujan tahunan rerata (mm),
T
= temperatur tahunan rerata,
a
= indeks kekeringan.
Menurut
De Martonne, suatu wilayah yang memiliki nilai a < 15 dikategorikan
sebagai wilayah kering. Metode ini dianggap masih mengandung kelemahan karena
mengabaikan pengaruh variasi musiman dan amplitudo harian dari temperatur di
wilayah kering.
Indeks
Kekeringan Menurut Thornthwaite (1948)
Metode
ini mengukur kekeringan suatu wilayah berdasarkan nilai evapotranspirasi
potensial (Eto), didefinisikan sebagai jumlah penguapan dari
suatu wilayah yang tertutup tumbuhan dengan kecukupan air untuk terjadinya
penguapan maksimum menurut kondisi klimatologi. Evapotranspirasi potensial ini
dihitung berdasarkan rumus Thornthwaite sebagai fungsi emperatur rerata
bulanan. Apabila jumlah hujan tahunan rerata lebih kecil dari Eto
tahunan, maka wilayah tersebut merupakan daerah semi kering.
Indeks
kekeringan menurut UNESCO (1979)
Menurut
UNESCO tingkat kekeringan diukur berdasarkan nilai evapotranspirasi potensial Eto
yang dihitung menurut rumus Penman. Nilai ini dibandingkan dengan tinggi curah
hujan tahunan rerata (P).
<
0,03
Wilayah
Super Kering
0,03
< <
0,20
wilayah kering
0,20
< <
0,50
wilayah semi kering
b.
Kekeringan Hidrologi
Kekeringan
tipe ini merefleksikan kondisi sistem air dalam suatu wilayah baik untuk air
permukaan maupun air bawah permukaan. Kekeringan hidrologis dapat dilihat dari
debit aliran rendah (lowflow), tampungan air di danau/waduk, tampungan
dalam tanah dsb. Kondisi kekerinan hidrologi tidak selalu terjadi secara
bersamaan dengan kekeringan meteorologis. Kadangkala ada daerah yang mengalami
kekeringan meteorologi tetapi kalau dipandang dari sisi hidrologi sebenarnya
tidak mengalami kekeringan. Tetapi pada umumnya, apabila terjadi kekeringan
hidrologi maka secara meteorologi juga mengalami kekeringan.
c.
Kekeringan Pertanian
Kekeringan
pertanian merefleksikan kekurangan lengas tanah yang dibutuhkan oleh tanaman
untuk hidup (evapotranspirasi). Respon tanaman terhadap kondisi lengas tanah
sangat bervariasi. Sebagian tanaman mampu bertahan hidup dan tumbuh dalam
kondisi lengas tanah yang rendah, tetapi ada juga tanaman yang membutuhkan
lengas tanah tinggi untuk bertahan hidup. Beberapa batasan kondisi lengas tanah
untuk tanaman yaitu kondisi jenuh, kapasitas lapang, titik layu awal dan titik
layu permanen. Kondisi lengas tanah ini berdampak langsung pada produktifitas
tanaman.
Nampak
bahwa kekeringan yang terjadi dapat merupakan interaksi berbagai tipe
kekeringan yang menambah kesulitan pengertian tentang kekeringan. Namun secara
umum dapat dirangkum bahwa kekeringan adalah peristiwa terjadinya kesenjangan
antara ketersediaan air dan kebutuhannya di masing-masing wilayah dan untuk
tiap-tiap penggunaan.
Kekeringan
yang melanda Pulau Jawa terutama disebabkan oleh berkurangnya luas hutan dan
meningkatnya penggunaan lahan non hutan. Kesimpulan ini dipeoleh Aris Poniman
dari hasil penyusunan neraca sumberdaya hutan dan lahan (www.swara.net).
Peningkatan lahan non hutan dapat mengakibatkan kekeringan karena keseimbangan
ekosistem dalam suatu DAS terganggu. Aris mengingatkan perlunya masyarakat
lebih waspada akan kemungkinan sering terjadinya banjir, tanah longsor dan
tentu saja kekeringan.
3.
Penanganan Banjir dan Kekeringan Secara Terpadu
Banjir,
sebagaimana diketahui, adalah persoalan kelebihan air, sementara kekeringan
adalah persoalan kekurangan air. Fenomena bahwa banjir semakin meningkat dari
waktu ke waktu, sementara debit musim kemarau semakin menurun sudah difahami
bersama. Salah satu contoh kodisi tersebut ditunjukkan pada kejadian aliran di
sungai Cidanau dari tahun 1998 – 2000 sebagai berikut :
Penanganan
banjir melalui peningkatan retensi banjir dapat dilakukan dengan cara program
penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan maupun perdesaan, pemeliharaan
reservoir-reservoir alamiah dan pembuatan resapan-resapan yang dapat memasukkan
air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. Tanah diharapkan dapat menjadi
tampungan air sementara dan secara perlahan-lahan air dialirkan ke sungai
sehingga tidak menimbulkan banjir di hilir. Manfaat langsung peningkatan
retensi ini adalah terjaganya konservasi air di DAS, muka air tanah dapat
diharapkan stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk berbagai
keperluan terpenuhi.
Daerah
Industri Cilegon
Sungai
Cidanau terletak di Daerah Cilegon, Jawa Barat yang bermuara di Selat Sunda.
Sungai ini sering membanjiri daerah Industri Cilegon dan sekitarnya. Disisi
lain pada musim kemarau, daerah pantai tersebut kesulitan mendapatkan air
bersih. Untuk mengatasi kesulitan air bersih dan mengurangi besarnya debit
banjir, PT Krakatau Tirta Industri membuat waduk Krenceng yang letaknya 27,2 km
dari Sungai Cidanau.
Air
baku untuk kebutuhan air bersih diambil dari Sungai Cidanau dengan lokasi intake
700 m dari Selat Sunda di Kecamatan Cinangka. Dari intake air dipompa
menuju waduk Krenceng yang merupakan penyimpanan cadangan air baku. Kapasitas
waduk tersebut yaitu 2,5 juta m3. Dari waduk air dialirkan ke Water
Treatment Plant Krenceng dengan kapasitas pengolahan 2000 lt/dt.
Terbangunnya
sistem pengadaan air bersih di daerah Cilegon tersebut dapat mengatasi
kesulitan air bersih dan sekaligus dapat mengurangi besarnya debit banjir,
sehingga genangan yang sering terjadi dapat menurun.
Pengendalian
Banjir Sungai Bengawan Solo Hulu dan Penyediaan Air Irigasi
Pengendalian
banjir Sungai Bengawan Solo Hulu dilakukan dengan pembuatan waduk
Wonogiri yang terletak ± 2 km sebelah selatan kota Wonogiri. Waduk ini mulai
beroperasi pada th 1982. Catchment areanya sebesar 1350 km2 dan
kapasitas tampungan 650 juta m3. Waduk ini direncanakan untuk
mengurangi debit banjir sebesar 4000 m3/detik menjadi 400 m3/detik (Nippon Koei
Co., Ltd, 1978). Daerah banjir yang dapat dibebaskan seluas ± 11.000 ha, dan
yang paling utama adalah pembebasan daerah Surakarta yang padat penduduk.
Selain
untuk pengendalian banjir waduk juga dimanfaatkan untuk irigasi. Daerah Irigasi
yang mendapatkan air dari waduk Wonogiri meliputi wilayah Kabupaten Sukoharjo,
Karanganyar, Sragen dan Klaten dengan luas 23.200 ha. Namun dengan berjalannya
waktu, areal irigasi di Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar banyak yang beralih
fungsi menjadi perumahan atau industri. Oleh karena itu PDAM Surakarta akan
memanfaatkan air Bengawan Solo untuk air baku dalam penyediaan air bersih bagi
Kodya Surakarta.
Daerah
Aliran Sungai Goseng
Daerah
Aliran Sungai Goseng merupakan ordo pertama sungai Samin yang bermuara di
Sungai Bengawan Solo. Luas area DAS Goseng = 5.96 km2. Daerah Aliran
Sungai ini terletak pada 7°39¢32² – 7°45¢ 08² LS dan 110°59¢02² – 111°2¢15²
yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Permasalahan
yang ada di DAS Goseng yaitu dibukanya lahan dengan kemiringan yang terjal
sebagai tegal oleh masyarakat setempat. Sehingga nilai koefisien aliran dan
erosi lahan meningkat, yang ditandai dengan meningkatnya nilai debit puncak dan
kekeruhan air sungai Samin.
Usaha
penambahan luas hutan diaplikasikan pada DAS Goseng, dengan harapan dapat
memberikan tambahan air ke dalam tanah dan mengurangi erosi lahan. Lahan tegal
dengan kemiringan 25 – 65% dicoba untuk di hutankan kembali dengan skenario 5,
10, 15, 20 % luas DAS menjadi hutan atau tanpa reboisasi tetapi seluruh tegal
dengan kemiringan tersebut di buat teras. Kejadian hujan yang digunakan dalam
analisis yaitu kejadian pada tanggal 14 Januari 1997.
Informasi
yang dapat diperoleh dari analisis ini bahwa adanya penghutanan kembali DAS
memberikan harapan bahwa besarnya cadangan air tanah untuk berbagai kebutuhan
dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu. Harapan ini tentunya akan lebih mudah
terwujud jika dapat dilakukan reboisasi secara serempak.
C.
Daftar Pustaka
Agus
Maryono, 2002, Banjir Terus Menerus di Indonesia dan Tinjauan Eko-Hidrolis,
Seminar Permasalahan Banjir di Indonesia, HMS UAJY dan HATHI, Yogyakarta
Krakatau
Tirta Industri, PT., 2001, Proyeksi Kebutuhan Air Bersih Untuk Industri
Cilegon dan Sekitarnya serta Kualitas dan Kuantitas Sungai Cidanau,
Cilegon.
Rachmad
Jayadi, 2000, Prinsip Dasar Pengelolaan Kekeringan, Kursus Singkat
Sistem Sumberdaya Air Dalam Otonomi Daerah II, Jur. Teknik Sipik UGM,
Yogyakarta
Sudjarwadi
dan Fuad Bustomi, 2002, Perencanaan Pengembangan dan managemen Sumberdaya
Air untuk Mengantisipasi Kekeringan DAS Mahakam, Seminar Pengendalian
Kekeringan DPS Mahakam, Kalimantan Timur
Siswoko,
2002, Mampukah Sarana dan Prasarana Pengendali Banjir dan Sistem Drainasi
Membebaskan Dataran Banjir dari Ancaman Banjir dan Genangan, Seminar
Permasalahan Banjir di Indonesia, HMS UAJY dan HATHI, Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar